SEJARAH TEGAL
Judul: Benteng Tegal
Digambar menggunakan kuas, melukiskan keadaan di sekitar benteng Tegal di pantai utara sebelah timur pulau Jawa. Benteng digambarkan di tengah agak ke kanan, sementara di seberang jalan sebelah kiri tampak atap rumah tinggal. Bendera Belanda berkibar di menara agak jauh ke kanan benteng. Sungai sekitar benteng digunakan untuk lalulintas air dengan seorang petugas jaga bersenjata tombak dan pedang. Di dekatnya seorang sedang duduk dengan anjing pengawalnya.
Judul: Benteng Tegal
Digambar menggunakan kuas, melukiskan keadaan di sekitar benteng Tegal di pantai utara sebelah timur pulau Jawa. Benteng digambarkan di tengah agak ke kanan, sementara di seberang jalan sebelah kiri tampak atap rumah tinggal. Bendera Belanda berkibar di menara agak jauh ke kanan benteng. Sungai sekitar benteng digunakan untuk lalulintas air dengan seorang petugas jaga bersenjata tombak dan pedang. Di dekatnya seorang sedang duduk dengan anjing pengawalnya.
Tegal Station SCS 1920an
Kartupos diterbitkan oleh percetakan J.D. De Boer dari Tegal-Cheribon-Poerwokerto ini memperlihatkan stasiun Tegal dari barat mengarah ke timur (zij-aanzicht = pandangan sisi samping). Stasiun lumayan ramai karena 2 kereta api baru datang. Di sebelah kiri berada kereta api Cirebon-Semarang sedangkan kereta api yang terlihat di sebelah kanan adalah KA Semarang-Cirebon. Kita melihat lokomotif dari seri B52 yang dibangun di pabrik Hartmann di negeri Jerman pada tahun 1908. Di peron ada banyak penumpang yang mau berangkat ke Cirebon. Barangnya banyak juga. Mungkin penumpang tersebut mau transit di Cirebon lalu naik kereta api yang lain ke Batavia. Di sebelah kanan terlihat pangkalan taksi kereta kuda. Lokasi pangkalan tersebut sekarang ditempati gedung beton dan peron ditutup pagar.
Stasiun Tegal 1988
Kartupos diterbitkan oleh percetakan J.D. De Boer dari Tegal-Cheribon-Poerwokerto ini memperlihatkan stasiun Tegal dari barat mengarah ke timur (zij-aanzicht = pandangan sisi samping). Stasiun lumayan ramai karena 2 kereta api baru datang. Di sebelah kiri berada kereta api Cirebon-Semarang sedangkan kereta api yang terlihat di sebelah kanan adalah KA Semarang-Cirebon. Kita melihat lokomotif dari seri B52 yang dibangun di pabrik Hartmann di negeri Jerman pada tahun 1908. Di peron ada banyak penumpang yang mau berangkat ke Cirebon. Barangnya banyak juga. Mungkin penumpang tersebut mau transit di Cirebon lalu naik kereta api yang lain ke Batavia. Di sebelah kanan terlihat pangkalan taksi kereta kuda. Lokasi pangkalan tersebut sekarang ditempati gedung beton dan peron ditutup pagar.
Stasiun Tegal 1988
Tegal Station SCS 1909
Tegal Station SCS 1920an
Tegal Station SCS 1920an
Stasiun Tegal mulai dibangun pada tahun 1885 sebagai stasiun trem JSM (Java
Spoorweg Maatschappij). Pada 1897 dibeli oleh maskapai perkeretaapian SCS
(Semarang Cheribon Stoomtrammaatschappij) dan stasiun dilengkapi dengan atap
besar yang berbahan kayu yang mengatapi 3 sepur. Pada tahun 1918 bagian dari
1885 direnovasi berdasarkan karya arsitek Henricus Maclaine Pont (1885 - 1971)
tetapi atapnya dari 1897 tidak berubah banyak. Direktur SCS ir. J. Th Gerlings
adalah mertua si arsitek sendiri. Sampai sekarang stasiun masih sama. Kartupos
diterbitkan oleh percetakan J.D. De Boer dari Tegal-Cheribon-Poerwokerto ini
memperlihatkan stasiun Tegal dari depan. (front-aanzicht = pandangan dari
depan). Di sebelah kiri terlihat pangkalan taksi kereta kuda.
Gambar rancangan bagian baru Stasiun Tegal oleh arsitek Henricus McLaine Pont.
(Sumber: Arsip PT Kereta Api Indonesia di Bandung)
Panorama kompleks SCS di Tegal pada tahun 1918
Panorama kompleks SCS di Tegal pada tahun 1918. Di sebelah kiri terlihat kantor pusat SCS dari arsitek McLaine Pont yang sekarang menjadi UPS (Universitas Pinggir Stasiun alias Universitas Panca Sakti). Stasiun terdiri dari bagian depan dari arsitek McLaine Pont dari 1918 dan bagian atap dari 1897. Jika diukur dengan jarak tempuh antara Jakarta dan Surabaya, kota Tegal kira-kira berada di tengah-tengahnya. Posisi strategis yang didukung dengan infrastruktur yang memadai menjadikan Tegal sebagai kota transit. Hal tersebut berdampak pada hidupnya usaha di bidang jasa pariwisata, terutama perhotelan.
Gambar rancangan bagian baru Stasiun Tegal oleh arsitek Henricus McLaine Pont.
(Sumber: Arsip PT Kereta Api Indonesia di Bandung)
Panorama kompleks SCS di Tegal pada tahun 1918
Panorama kompleks SCS di Tegal pada tahun 1918. Di sebelah kiri terlihat kantor pusat SCS dari arsitek McLaine Pont yang sekarang menjadi UPS (Universitas Pinggir Stasiun alias Universitas Panca Sakti). Stasiun terdiri dari bagian depan dari arsitek McLaine Pont dari 1918 dan bagian atap dari 1897. Jika diukur dengan jarak tempuh antara Jakarta dan Surabaya, kota Tegal kira-kira berada di tengah-tengahnya. Posisi strategis yang didukung dengan infrastruktur yang memadai menjadikan Tegal sebagai kota transit. Hal tersebut berdampak pada hidupnya usaha di bidang jasa pariwisata, terutama perhotelan.
Sampai sekarang stasiun kereta api Tegal
menghubungkan kota ini dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Beberapa kereta api
yang singgah di stasiun ini adalah: Senja Utama dan Fajar Utama
(Jakarta-Semarang), Sembrani dan Argo Dwipangga (Jakarta-Surabaya), Matarmaja
(Jakarta-Malang), Bangunkarta (Jakarta-Jombang), Harina (Bandung-Semarang), dan
Kaligung (Tegal-Semarang).
Stasiun Tegal 2008
Tegal Penjara ±1900
Kartupos ini dalam bahasa Belanda berjudul “Gevangenis”. Artinya “Penjara”. Penjara ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di bekas benteng VOC yang dibangun pada tahun sekitar 1719 di Parkstraat (kini Jl Yos Sudarso) dekat pelabuhan di kota Tegal. Sampai sekarang gedung ini berfungsi sebagai penjara dengan nama resmi Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Tegal.
Stasiun Tegal 2008
Tegal Penjara ±1900
Kartupos ini dalam bahasa Belanda berjudul “Gevangenis”. Artinya “Penjara”. Penjara ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di bekas benteng VOC yang dibangun pada tahun sekitar 1719 di Parkstraat (kini Jl Yos Sudarso) dekat pelabuhan di kota Tegal. Sampai sekarang gedung ini berfungsi sebagai penjara dengan nama resmi Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Tegal.
Gambar memperlihatkan pintu masuk mengarah ke
utara. Pintu yang berarsitektur gaya Neo Klasik ditutup dengan pagar besi.
Didalam pintu terlihat lampu yang digantung pada langitnya. Di atas pintu
terlihat bel besar yang dapat dibuyikan dengan memakai tali panjang. Tali
tersebut terlihat dengan jelas di foto ini. 7 penjaga penjara berdiri didepan
pagar sedang berpose untuk fotografer. 6 penjaga berseragam berwarna gelap dan
1 penjaga berseragam berwarna putih. Mungkinlah dia kepala penjaga penjara.
Bagian kosong yang di sebelah kanan dari fotonya diperuntukkan untuk menulis surat. Tetapi kartupos ini belum pernah ditulisi dan belum pernah dikirim. Siapa suka menerima kartupos yang bergambar penjara?
Kantor SCS Tegal 1913
Di depan Stasiun Kereta Api Tegal terdapat sebuah bangunan besar yang sekarang dipakai sebagai tempat kuliah. Kartupos diterbitkan oleh fotografer Jepang Abe Yoko ini memperlihatkan bangunan tua ini yang dulunya merupakan kantor pusat SCS (Samarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij = Perusahaan Perkeretaapian Semarang-Cirebon). Gedung ini memang kalah mewah dibanding gedung Lawang Sewu di Semarang yang dulunya adalah kantor NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij = Perusahaan Perkeretaapian Hindia Belanda), tetapi tidak kalah cantik.
Bagian kosong yang di sebelah kanan dari fotonya diperuntukkan untuk menulis surat. Tetapi kartupos ini belum pernah ditulisi dan belum pernah dikirim. Siapa suka menerima kartupos yang bergambar penjara?
Kantor SCS Tegal 1913
Di depan Stasiun Kereta Api Tegal terdapat sebuah bangunan besar yang sekarang dipakai sebagai tempat kuliah. Kartupos diterbitkan oleh fotografer Jepang Abe Yoko ini memperlihatkan bangunan tua ini yang dulunya merupakan kantor pusat SCS (Samarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij = Perusahaan Perkeretaapian Semarang-Cirebon). Gedung ini memang kalah mewah dibanding gedung Lawang Sewu di Semarang yang dulunya adalah kantor NIS (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij = Perusahaan Perkeretaapian Hindia Belanda), tetapi tidak kalah cantik.
Menurut penuturan bpk Agus Sutanto selaku senior
penjaga lintasan di PJL Pertamina Tegal,dulu ada terowongan yang menghubungkan
kantor pusat SCS dengan Stasiun Tegal dan Balai Yasa Tegal.Terowongan ini
digunakan para penjajah untuk melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran
penduduk Tegal.”kalau mereka(penjajah) diserang,mereka melarikan diri ke
jakarta dengan naik kereta api,tetapi naiknya bukan dari stasiun,mereka masuk
ke terowongan rahasia tersebut dan keluar di Balai Yasa dan naik kereta dari
situ.namun sampai sekarang tidak ada yang mengetahui dimana letak pintu
terowongan tersebut.”tuturnya.
Gedung ini didesain di tahun 1910 oleh seorang arsitek terkenal yaitu Henricus Maclaine Pont (1885 - 1971). Sebagai respons terhadap lintasan matahari tropik, massa bangunan diletakkan memanjang Timur-Barat. Dengan itu maka fasade sisi Utara dan Selatan kaya dengan artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi. Direktur SCS ir. J. Th Gerlings adalah mertua si arsitek sendiri. Henricus Maclaine Pont terkenal juga dari karya lain antara lain gedung ITB di Bandung dan beliau adalah pendiri Museum Majapahit di Trowulan (Mojokerto). Henricus memberikan kontribusi penting bagi perkembangan peradaban masa lalu bangsa Indonesia dengan merekonstruksi kejayaan Majapahit melalui kajian kitab Nagarakertagama dan penelitian tinggalan arkeologis di Trowulan.
Sejak 1980 bekas gedung SCS di Jl. Pancasila No 2 ini ditempati kampus UPS. Biasanya UPS disebut Universitas Pinggir Stasiun tapi nama resminya Universitas Panca Sakti. Secara umum kondisinya masih baik, meski nampak tidak terawat, kotor, kumuh, namun masih menyisakan keindahan dan eksotisme sebuah bangunan klasik yang indah. Penggunaannya sebagai kampus dikhawatirkan akan merombak gedung bersejarah ini.
Gedung ini didesain di tahun 1910 oleh seorang arsitek terkenal yaitu Henricus Maclaine Pont (1885 - 1971). Sebagai respons terhadap lintasan matahari tropik, massa bangunan diletakkan memanjang Timur-Barat. Dengan itu maka fasade sisi Utara dan Selatan kaya dengan artikulasi arsitektural untuk menangkap cahaya dan ventilasi. Direktur SCS ir. J. Th Gerlings adalah mertua si arsitek sendiri. Henricus Maclaine Pont terkenal juga dari karya lain antara lain gedung ITB di Bandung dan beliau adalah pendiri Museum Majapahit di Trowulan (Mojokerto). Henricus memberikan kontribusi penting bagi perkembangan peradaban masa lalu bangsa Indonesia dengan merekonstruksi kejayaan Majapahit melalui kajian kitab Nagarakertagama dan penelitian tinggalan arkeologis di Trowulan.
Sejak 1980 bekas gedung SCS di Jl. Pancasila No 2 ini ditempati kampus UPS. Biasanya UPS disebut Universitas Pinggir Stasiun tapi nama resminya Universitas Panca Sakti. Secara umum kondisinya masih baik, meski nampak tidak terawat, kotor, kumuh, namun masih menyisakan keindahan dan eksotisme sebuah bangunan klasik yang indah. Penggunaannya sebagai kampus dikhawatirkan akan merombak gedung bersejarah ini.
UPS 2008
Tegal Rumdin Residen 1907
Gedung dibangun pada tahun 1750an oleh Mathijs Willem de Man (1720-1763), residen di Tegal pada jaman itu, sebagai kediaman resmi. Gedungnya bergaya arsitektur Neo Klasik. Pada tahun 1950 menjadi Balai Kota. Pada tahun 1985 (hingga kini) menjadi kantor DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sampai sekarang bentuk gedung hampir tidak berubah. Sebuah fronton segitiga yang besar dibangun di atas bagian depan, di bekas tempat tiang bendara.
Sisi gambar ada cerita dalam bahasa Perancis. Bahasa Indonesianya: Jam 11.30 sedang pulang dari Brebes. Mau ketemu seseorang yang tidak muncul. Saya mau tanya apakah dia absen. Tidak bisa tunggu untuk selamanya. Saya tidak suka kunjungan ini sama sekali. Mungkin saya lebih suka pergi ke tempat dingin. Dengan ciuman besar dari milikmu, Pascal.
Gedung DPRD Kota Tegal 2006 dan pada tahun 1890 dengan banyak pohon (foto dari arsip KITLV)
Penulis Belanda yang ternama, Louis Couperus, menginap disini pada bulan Juni 1899. Louis punya kakak namanya Geertruida Johanna (“Trudy”) yang tinggal di sini bersama suaminya Gerard yang bertugas sebagai residen di Tegal. Dalam buku “De Stille Kracht” ("Kekuatan Rahasia"), sebuah novel mengenai masyarakat kolonial Belanda di Jawa yang ditulis pada tahun 1900, Louis menceritakan gedung ini sebagai sebuah bangunan besar, sebesar istana, yang gelap, yang penuh rahasia, yang mistis. Rumah ini tidak pernah nyaman untuk ditinggali. Rumah ini selalu dipakai untuk pesta-pesta besar bagi orang-orang dari kelas atas. Rumah ini selalu menunggu pesta berikutnya. Rumah ini punya bagian halaman yang gelap. Di malam hari ada wangi bunga Sedap Malam. Anjing menggonggong. Ada bulan setengah. Ada banyak bayang-bayang hitam yang panjang. Ada pohon besar yang angker. Peristiwa-peristiwa aneh yang tidak dapat dijelaskan akal sehat juga terjadi di sini.
Residen Gerardus Johannes Petrus de la Valette (1855-?) dan Ibu Residen Geertruida Johanna de la Valette-Couperus (1856-1923) (Foto oleh studio Woodbury & Page Batavia dan studio Adolphe Zimmermans La Haye. Sumber: arsip ahliwaris dari Carla Biberle, cucu dari Residen dan Ibu Residen)
Upacara resmi di rumah dinas residen Tegal.
Foto ini memperlihatkan si Residen (berkumis) dan Ibu Residen (duduk) dan rombongan kolonial (di sebelah kiri) dikunjungi delegasi dari komunitas Tionghoa Tegal terdiri dari 6 orang berpakaian adat. Terlihat mebel bagus yang didisainkan dalam gaya Neo Rokoko (foto dari arsip ahliwaris dari Carla Biberle). Rumah ini selalu dipakai untuk pesta-pesta besar bagi orang-orang dari kelas atas. Jika kapal perang bersandar di pelabuhan Tegal, opsir-opsir pasti diundangi untuk berpesta di Rumah Residen. Rumah ini juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Seringkali pementasan sadiwara diadakan, tableaux vivants (lukisan hidup) diperlihatkan dan sastra atau syair diperdengarkan.[hr]
Tegal Rumdin Residen 1907
Gedung dibangun pada tahun 1750an oleh Mathijs Willem de Man (1720-1763), residen di Tegal pada jaman itu, sebagai kediaman resmi. Gedungnya bergaya arsitektur Neo Klasik. Pada tahun 1950 menjadi Balai Kota. Pada tahun 1985 (hingga kini) menjadi kantor DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sampai sekarang bentuk gedung hampir tidak berubah. Sebuah fronton segitiga yang besar dibangun di atas bagian depan, di bekas tempat tiang bendara.
Sisi gambar ada cerita dalam bahasa Perancis. Bahasa Indonesianya: Jam 11.30 sedang pulang dari Brebes. Mau ketemu seseorang yang tidak muncul. Saya mau tanya apakah dia absen. Tidak bisa tunggu untuk selamanya. Saya tidak suka kunjungan ini sama sekali. Mungkin saya lebih suka pergi ke tempat dingin. Dengan ciuman besar dari milikmu, Pascal.
Gedung DPRD Kota Tegal 2006 dan pada tahun 1890 dengan banyak pohon (foto dari arsip KITLV)
Penulis Belanda yang ternama, Louis Couperus, menginap disini pada bulan Juni 1899. Louis punya kakak namanya Geertruida Johanna (“Trudy”) yang tinggal di sini bersama suaminya Gerard yang bertugas sebagai residen di Tegal. Dalam buku “De Stille Kracht” ("Kekuatan Rahasia"), sebuah novel mengenai masyarakat kolonial Belanda di Jawa yang ditulis pada tahun 1900, Louis menceritakan gedung ini sebagai sebuah bangunan besar, sebesar istana, yang gelap, yang penuh rahasia, yang mistis. Rumah ini tidak pernah nyaman untuk ditinggali. Rumah ini selalu dipakai untuk pesta-pesta besar bagi orang-orang dari kelas atas. Rumah ini selalu menunggu pesta berikutnya. Rumah ini punya bagian halaman yang gelap. Di malam hari ada wangi bunga Sedap Malam. Anjing menggonggong. Ada bulan setengah. Ada banyak bayang-bayang hitam yang panjang. Ada pohon besar yang angker. Peristiwa-peristiwa aneh yang tidak dapat dijelaskan akal sehat juga terjadi di sini.
Residen Gerardus Johannes Petrus de la Valette (1855-?) dan Ibu Residen Geertruida Johanna de la Valette-Couperus (1856-1923) (Foto oleh studio Woodbury & Page Batavia dan studio Adolphe Zimmermans La Haye. Sumber: arsip ahliwaris dari Carla Biberle, cucu dari Residen dan Ibu Residen)
Upacara resmi di rumah dinas residen Tegal.
Foto ini memperlihatkan si Residen (berkumis) dan Ibu Residen (duduk) dan rombongan kolonial (di sebelah kiri) dikunjungi delegasi dari komunitas Tionghoa Tegal terdiri dari 6 orang berpakaian adat. Terlihat mebel bagus yang didisainkan dalam gaya Neo Rokoko (foto dari arsip ahliwaris dari Carla Biberle). Rumah ini selalu dipakai untuk pesta-pesta besar bagi orang-orang dari kelas atas. Jika kapal perang bersandar di pelabuhan Tegal, opsir-opsir pasti diundangi untuk berpesta di Rumah Residen. Rumah ini juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Seringkali pementasan sadiwara diadakan, tableaux vivants (lukisan hidup) diperlihatkan dan sastra atau syair diperdengarkan.[hr]
Ruang kantor Residen Tegal (foto dari arsip ahliwaris dari Carla Biberle)
Pelabuhan Tegal
Pelabuhan Tegal
Tegal 1920 (Koleksi Universitas Tohoku, Miyagi,
Jepang)
Geografis Prasejarah TEGAL
Menurut sejarah geografi, dulu sebelum mengalami
jaman transgresi, Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan merupakan sebuah
semenanjung besar dari Benua Asia, sehingga Sungai Musi, Indragiri, dan Kampar
bermuara di Teluk/Laut Tiongkok Selatan. Sungai Barito dan sungai-sungai di
Kalimantan Selatan, serta sungai-sungai di Pantai Utara Pulau Jawa semuanya
mengalir ke Teluk/Selat Makasar. Sungai Kapuas mengalir ke Laut Tiongkok
Selatan. Sungai Ciliwung mengalir dan bermuara di Teluk/Laut Sunda. Adapun nama
semenanjung besar itu menurut sebagian orang adalah Semenanjung Malaya.
Pada saat terjadi transgresi, yaitu pada masa glasial di mana banyak es mencair sehingga lautan menjadi pasang dengan sangat hebatnya dan banyak lembah-lembah yang tergenang air, bahkan terjadi pemisahan semenanjung-semenanjung menjadi pulau-pulau seperti sekarang, seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Masa transgresi itu sedemikian besarnya sehingga lebah Kali Pemali, Kali Gung, Sungai Cacaban, dsb tergenang air dan menjadi sungai. Tegal merupakan teluk yang jauh menjorok ke darat. Bahkan ada kemungkinan juga daerah Gunung Kapur Goamacan dulunya pernah tertutup air, sehingga para penggali gamping sering menemukan fosil-fosil binatang laut. Endapan semakin lama semakin menebal dan air laut berkurang. Desa Pakulaut pernah menjadi teluk dan Margasari pernah menjadi bandar, terbukti dengan adanya Desa Dukuhbenda, perubahan dari kata bandar serta pernah ditemukannya tali ijuk besar oleh penduduk sewaktu menggali sebuah sumur di Desa Pakulaut.
Tempat pesiar laut yang indah dapat dibuktikan juga, karena ada tempat yang bernama Balaikambang dan tidak jauh dari tempat itu terdapat Arca Lembu Nandi. Sekitar abad ke-4 atau ke-5 daerah-daerah tersebut masih berupa teluk besar.
Lebaksiu juga berasal dari kata Lebak dan Siuh yang berarti dataran rendah yang indah. Sedangkan Ujungsari dulunya merupakan ujung besar dan merupakan bandar. Desa Pulogadung merupakan sebuah pulau yang makin lama dengan adanya erosi tanah dan endapan pada muara Sungai Gung, terjadilah dataran baru dan akhirnya pulau itu bersatu dengan Ujungrusi, hanya terpisah oleh Sungai Gung saja.
Sistem evolusi endapan itu secepatnya dapat terjadi karena arus Sungai Gung sangat deras. Batu dan pasir yang sangat banyak terbawa oleh banjir mempercepat proses terjadinya dataran baru. Setelah terjadi dataran baru, lama kelamaan didiami oleh orang yang kemungkinan pindahan dari daerah lereng Gunung Slamet, yang berpindah secara berangsur-angsur disebabkan karena kebutuhan mereka.
Orang-orang purba yang hidup di daerah Tegal kebanyakan berdiam di Danawarih, Watuwalang, Batuagung, Semedo, Cacaban, Jejeg, dsb. Sayangnya, peninggalan-peninggalan itu sekarang sulit didapat karena orang yang menemukan benda-benda tersebut membuangnya begitu saja karena menganggap tidak berarti.
Perpindahan penduduk dari daerah pegunungan ke daerah rendah diperkirakan terjadi pada jaman perunggu. Hal ini terbukti dengan sering ditemukannya barang-barang yang terbuat dari perunggu, tetapi tidak terdapat peninggalan-peninggalan yang terbuat dari batu, baik dari masa neolithicum maupun dari masa paleolithicum. Bukti adanya perpindahan penduduk juga terlihat dengan adanya satu kebudayaan yang sama, terutama tentang bahasa dan adat istiadatnya. Penduduk dari Bumijawa sampai Tegal merasa satu kesatuan yang sangat kuat.
Pada saat terjadi transgresi, yaitu pada masa glasial di mana banyak es mencair sehingga lautan menjadi pasang dengan sangat hebatnya dan banyak lembah-lembah yang tergenang air, bahkan terjadi pemisahan semenanjung-semenanjung menjadi pulau-pulau seperti sekarang, seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Masa transgresi itu sedemikian besarnya sehingga lebah Kali Pemali, Kali Gung, Sungai Cacaban, dsb tergenang air dan menjadi sungai. Tegal merupakan teluk yang jauh menjorok ke darat. Bahkan ada kemungkinan juga daerah Gunung Kapur Goamacan dulunya pernah tertutup air, sehingga para penggali gamping sering menemukan fosil-fosil binatang laut. Endapan semakin lama semakin menebal dan air laut berkurang. Desa Pakulaut pernah menjadi teluk dan Margasari pernah menjadi bandar, terbukti dengan adanya Desa Dukuhbenda, perubahan dari kata bandar serta pernah ditemukannya tali ijuk besar oleh penduduk sewaktu menggali sebuah sumur di Desa Pakulaut.
Tempat pesiar laut yang indah dapat dibuktikan juga, karena ada tempat yang bernama Balaikambang dan tidak jauh dari tempat itu terdapat Arca Lembu Nandi. Sekitar abad ke-4 atau ke-5 daerah-daerah tersebut masih berupa teluk besar.
Lebaksiu juga berasal dari kata Lebak dan Siuh yang berarti dataran rendah yang indah. Sedangkan Ujungsari dulunya merupakan ujung besar dan merupakan bandar. Desa Pulogadung merupakan sebuah pulau yang makin lama dengan adanya erosi tanah dan endapan pada muara Sungai Gung, terjadilah dataran baru dan akhirnya pulau itu bersatu dengan Ujungrusi, hanya terpisah oleh Sungai Gung saja.
Sistem evolusi endapan itu secepatnya dapat terjadi karena arus Sungai Gung sangat deras. Batu dan pasir yang sangat banyak terbawa oleh banjir mempercepat proses terjadinya dataran baru. Setelah terjadi dataran baru, lama kelamaan didiami oleh orang yang kemungkinan pindahan dari daerah lereng Gunung Slamet, yang berpindah secara berangsur-angsur disebabkan karena kebutuhan mereka.
Orang-orang purba yang hidup di daerah Tegal kebanyakan berdiam di Danawarih, Watuwalang, Batuagung, Semedo, Cacaban, Jejeg, dsb. Sayangnya, peninggalan-peninggalan itu sekarang sulit didapat karena orang yang menemukan benda-benda tersebut membuangnya begitu saja karena menganggap tidak berarti.
Perpindahan penduduk dari daerah pegunungan ke daerah rendah diperkirakan terjadi pada jaman perunggu. Hal ini terbukti dengan sering ditemukannya barang-barang yang terbuat dari perunggu, tetapi tidak terdapat peninggalan-peninggalan yang terbuat dari batu, baik dari masa neolithicum maupun dari masa paleolithicum. Bukti adanya perpindahan penduduk juga terlihat dengan adanya satu kebudayaan yang sama, terutama tentang bahasa dan adat istiadatnya. Penduduk dari Bumijawa sampai Tegal merasa satu kesatuan yang sangat kuat.
Kehidupan Prasejarah Wong TEGAL
Cara hidup penduduk pada jaman purba masih sangat
primitif. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu. Makanan yang didapat dari hasil
berburu atau menangkap ikan di sungai dan menari buah-buahan. Tempat tinggalnya
masih berpindah-pindah, tergantung dari banyaknya bahan makanan yang menjadi
persediaan. Bila persediaan makanan di suatu tempat kurang, maka mereka segera
pindah ke tempat lain. Tempat yang disenangi adalah yang dekat dengan sumber
air. Pada sumber-sumber air itulah mudah untuk berburu, karena
binatang-binatang setiap waktu mencari air. Selain itu, air juga digunakan
untuk keperluan hidup lain, seperti minum, mandi, dsb.
Diperkirakan tempat-tempat mereka pada jaman itu adalah di Lembah Sungai Gintung, Sungai Kumisik, Sungai Gung, Sungai Cacaban, dan Sungai Rambut.
Bila berburu, istri dan anak-anaknya ditinggalkan di suatu tempat yang dianggap aman. Para wanita itu lalu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti membuat makanan bagi suaminya, mengatur pondoknya. Waktu yang masih ada, mereka gunakan untuk menanam tanaman yang digunakan untuk persediaan bahan makanan di hari-hari selanjutnya. Dengan demikian, kaum perempuan lama-kelamaan tidak mau lagi diajak berpindah-pindah dan mulai menetap di tempat yang dipilihnya.
Sistem perpindahan penduduk kemudian berhenti. Mereka saling membina keluarga dan hidup cara berburu berkurang, digantikan dengan bercocok tanam. Mereka berkelompok membina marganya sendiri-sendiri. Bagi yang tertua atau yang tercakap, dipilih untuk memimpin dan mengatur segala sesuatunya. Hidup mereka sangat rukun dan selalu bergotong-royong dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka saling tolong-menolong. Anak-anak mereka dididik berburu, bercocok tanam, dsb. Tempat-tempat itu timbul desa-desa seperti sekarang. Pada waktu itu mereka menganut animisme dan dinamisme. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan seperti Menhir di Dermasuci, Karangjambu, dsb.
Diperkirakan tempat-tempat mereka pada jaman itu adalah di Lembah Sungai Gintung, Sungai Kumisik, Sungai Gung, Sungai Cacaban, dan Sungai Rambut.
Bila berburu, istri dan anak-anaknya ditinggalkan di suatu tempat yang dianggap aman. Para wanita itu lalu mengerjakan pekerjaan rumah, seperti membuat makanan bagi suaminya, mengatur pondoknya. Waktu yang masih ada, mereka gunakan untuk menanam tanaman yang digunakan untuk persediaan bahan makanan di hari-hari selanjutnya. Dengan demikian, kaum perempuan lama-kelamaan tidak mau lagi diajak berpindah-pindah dan mulai menetap di tempat yang dipilihnya.
Sistem perpindahan penduduk kemudian berhenti. Mereka saling membina keluarga dan hidup cara berburu berkurang, digantikan dengan bercocok tanam. Mereka berkelompok membina marganya sendiri-sendiri. Bagi yang tertua atau yang tercakap, dipilih untuk memimpin dan mengatur segala sesuatunya. Hidup mereka sangat rukun dan selalu bergotong-royong dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka saling tolong-menolong. Anak-anak mereka dididik berburu, bercocok tanam, dsb. Tempat-tempat itu timbul desa-desa seperti sekarang. Pada waktu itu mereka menganut animisme dan dinamisme. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan seperti Menhir di Dermasuci, Karangjambu, dsb.
Sejarah Kabupaten Tegal
Sejarah Tegal
Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban umat manusia.
Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno.
Kesaksian ini diperkuat dengan ditemukannya artefak kuno dan candi di Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).
Sejarah Tegal
Kekayaan sejarah sebuah kota atau kawasan terlihat dari jejak peninggalan apa yang disebut cultural heritage dan living cultural yang tersisa dan hidup di kawasan tersebut. Keduanya merupakan warisan peradaban umat manusia.
Demikian halnya dengan Kabupaten Tegal, Wilayah yang kaya akan jejak peninggalan kesejarahan sebagai penanda bahwa Kabupaten Tegal sebagai tlatah kawasan tak dapat dilepaskan dari keterkaitan garis sejarah hingga membentuk kawasan sekarang ini.
Penekanan pada bidang pertanian misalnya, tak dapat dilepaskan dari kondisi wilayah dan akar kesejarahan tlatah Kabupaten Tegal yang mengembangkan kapasitasnya selaku wilayah agraris. Tradisi keagrarisan dimulai dari ketokoan Ki Gede Sebayu juru demung trah Pajang. Bahkan kalau dirunut keagrarisan itu dimulai semenjak Mataram Kuno.
Kesaksian ini diperkuat dengan ditemukannya artefak kuno dan candi di Pedagangan. Ditambah tlatah Tegal kerapkali dikaitkan dengan kerajaan Pajang dan Mataram Islam yang cenderung kekuasaan dengan basis pada agraris ( De Graaf, 1986).
Juru Demung Ki Gede Sebayu
Tegal berasal dari nama Tetegal, tanah subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian (Depdikbud Kabupaten Tegal, 1984). Sumber lain menyatakan, nama Tegal dipercaya berasal dari kata Teteguall. Sebutan yang diberikan seorang pedagang asal Portugis yaitu Tome Pires yang singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 –an (Suputro, 1955).
Namun sejarah tlatah Kabupaten Tegal tak dapat diepaskan dari ketokohan Ki Gede Sebayu. Namanya dikaitkan dengan trah Majapahit, karena sang ayah Ki Gede Tepus Rumput ( kelak bernama Pangeran Onje) ialah keturunan Batara Katong Adipati Ponorogo yang masih punya kaitan dengan keturunan dinasti Majapahit (Sugeng Priyadi, 2002).
3 Oktober 1934 pengurus pusat Bruder Karitas
memutuskan untuk mendirikan biara baru di Tegal. Enam bruder di bawah pimpinan
Br. Canisius yang sedang berlayar dari Belanda akan menempati biara tersebut.
Kemudian mereka bekerja sama dengan Suster-suster PBHK dan Romo MSC membangun
sekolah, membentuk perkumpulan sepakbola, kelompok koor “St. Paulus”.Tapi pada
revolusi kemerdekaan semua bangunan dibumihanguskan sebagai strategi perang.
Sesudah perang kemerdekaan tanah dikembalikan kepada Keuskupan, dan Sr. PBHK
meneruskan karya mereka disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar